“Yuk, potret dulu!” Pasti Anda tidak jarang mendengar kata ini saat mendatangi sebuah tempat. Entah di mall, lokasi wisata, atau lokasi nongkrong anak muda. Selfie, swafoto, atau memungut potret diri memang paling melekat pada remaja yang tumbuh besar di era media sosial. Walaupun tampak seperti kelaziman yang wajar, terlalu tidak jarang selfie ternyata bisa dominan buruk pada kesehatan mental remaja. Kenapa dapat begitu? Simak ulasannya inilah ini.
Dampak buruk selfie pada kesehatan mental remaja
Media sosial ialah tempat untuk sebagian besar remaja guna mengekspresikan diri mereka, lewat ucapan-ucapan maupun foto. Di antara seluruh jenis media sosial, Instagram lumayan mendapat tidak sedikit perhatian untuk anak remaja. Dengan Instragram, masing-masing remaja dapat mengunggah hasil jepretan potret terbaiknya dan mendapat feedback, berupa like atau komentar.
Sisi positifnya, Instagram dapat jadi lokasi remaja untuk mengindikasikan bakat memotret atau hobinya pada orang lain. Bahkan, menjadi lahan emas untuk mereka guna mendapatkan pendapatan sendiri.
Namun, tahukah Anda, tidak seluruh remaja bakal mendapatkan efek positif tersebut. Ada pun yang hingga terobsesi dengan hasil selfie sehingga dominan buruk untuk kesehatan mental remaja. Mulai dari tingkat depresi dan kegelisahan jadi meningkat, sampai memicu beberapa remaja berpikiran guna bunuh diri (meskipun kasusnya jarang sekali).
1. Terlalu tidak jarang selfie dapat mengarah pada citra diri yang negatif
Setiap jepretan potret yang diambil, tidak semuanya akan cocok dengan harapan. Mereka dapat menghabiskan tidak sedikit waktu melulu untuk memilih satu potret saja guna diunggah.
Mereka bakal terus menjepret dan mengulangnya sejumlah kali. Rasa tidak puas muncul saat angle potret yang tidak cukup pas, posisi objek yang tidak proporsional, penyinaran yang tidak cukup baik, bahkan tidak puas dengan tampilan wajahnya sendiri.
Dilansir lama Healthline, suatu studi yang diterbitkan pada The Journal of Early Adolescence mengindikasikan bahwa remaja yang mengunggah tidak sedikit selfie ingin mempunyai kesadaran yang tinggi dengan penampilan mereka sendiri. Namun, ini pun sejalan dengan menambah citra negatif pada format tubuh tertentu.
Di samping itu, laporan berita dari Common Sense tahun 2015 pun menemukan bahwa gadis remaja yang terlalu tidak jarang selfie ingin mudah khawatir dan rasa khawatir. Sebanyak 35 persen merasa cemas dengan penampilannya dengan selfie yang diunggah rekan dan 27 persen merasa cemas dengan potret yang mereka unggah sendiri.
Kemudian, sejumlah 22 persen di antaranya merasa dirinya lebih jelek ketika fotonya dilalaikan oleh orang lain. Perasaan kecewa ini hadir saat mereka menyaksikan seberapa tidak sedikit orang menyenangi dan menyerahkan komentar pada potret yang diunggah.
2. Terobsesi bisa likes sampai tidak beranggapan panjang
Perkembangan benak remaja belum sepenuhnya sempurna, mereka belum dapat membuat keputusan dengan baik. Ini dapat menjerumuskan mereka dalam opsi yang salah. Feedback yang tidak diinginkan dari potret yang diunggah bukan tidak mungkin menciptakan remaja mencari teknik untuk unik perhatian, contohnya sengaja merusak reputasi mereka.
Mereka mengunggah potret atau ucapan-ucapan yang mengundang kontroversi, misalnya mengupayakan merokok atau mem-bully temannya. Walaupun bakal mendapatkan perhatian, timbulnya komentar-komentar yang negatif dapat membuat remaja jadi tertekan pada akhirnya.
Orangtua perlu memantau remaja memakai media sosial
Untuk mengontrol kelaziman selfie anak, pasti perlu peran orangtua untuk memantau pemakaian media sosial. Orangtua butuh memberi pemahaman pada anak untuk memakai media sosial dengan arif dan positif.
Beri selalu sokongan dan nasihat ketika remaja merasa dirinya tidak pantas, tidak cantik, atau tidak pintar. Tentunya, batasi pun pemakaian ponsel ketika anak menguras waktu bareng keluarga dan sebelum jam tidurnya.
0 Komentar